Sabtu, 08 November 2014

MAKALAH PMDI PEMBAHARUAN PEMIIRAN SAYID JAMALUDDIN AL-AFGHANI

PEMBAHARUAN PEMIKIRAN
SAYYID JAMALUDDIN AL-AFGHANI
Oleh : Supandi dan Sunaryo
“(siksaan) yang demikian itu adalah Karena Sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan meubah sesuatu nikmat yang Telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu meubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri, dan Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui”.
[Q.S Al-Anfaal (08): 53]

A.    Pendahuluan
Pada kurun waktu tertentu dalam konteks peradaban, suatu komunitas bangsa akan mengalami pasang surut. Masih dalam konteks yang sama, kebesaran suatu peradaban itu akan dimunculkan oleh pelaku-pelaku sejarah yang memiliki kepedulian terhadap kemajuan dan kemunduran suatu komunitas dimana ia berada.
Dalam dunia kehidupan manusia ikatan-ikatan yang telah berkembang luas, terdiri dari dua hal. Pertama adalah ikatan atas kesamaan bahasa  ini (Bahasa Arab) yang merupakan landasan bagi terwujudnya bangsa dan kesatuan nasional dan yang lain adalah ikatan keagamaan.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern memasuki dunia Islam, terutama sesudah pembukaan abad ke-19 Masehi, yang dalam sejarah Islam dipandang sebagai permulaan periode modern. Kontak dengan dunia Barat selanjutnya membawa ide-ide baru ke dunia Islam, seperti rasionalisme, nasionalisme, modernisme, demokrasi dan sebagainya. Semua ini menimbulkan persoalan-persoalan baru, dan pemimpin-pemimpin Islam pun mulai memikirkan cara mengatasi persoalan-persoalan baru itu.
Berbagai nama tokoh pun segera tampil dalam ingatan ketika disebutkan tentang abad modernisme Islam yang ditandai dengan dominasi Eropa ini. Dominasi Eropa atas dunia Islam, khusunya di bidang politik dan pemikiran ini ditanggapi dengan beragam cara sehingga melahirkan kalangan modernis dan fundamentalis. Modernisme cenderung akomodatif terhadap ide Barat meskipun kemudian mengembangkan sendiri ide-ide tersebut, sedangkan fundamentalisme menganggap apa–apa yang datang dari Barat adalah bukan berasal dari Islam dan tak layak untuk diambil. Fundamentalisme merupakan suatu paham yang lahir atau besar setelah fase modernisme.
Perdamaian terakhir antara filsafat dan teologi oleh para pemikir Isyraqi, dari al-Suhrawardi sampai al-Syirazi, memberi suatu tempat yang aman bagi filsafat di Persia dan menyiapkan dasar bagi munculnya “Modenisme” di negeri-negeri muslim. Kesinambungan pemikiran Islam, terutama dalam bentuk Syi’ahnya, dilukiskan oleh garis panjang para filosof-teolog yang melanjutkan tradisi isyraqi yang memuncak pada diri Shadr al-Din al-Syirazi, tokoh terbesar di zaman modern. Pemikir utama kaum modernis sejati, yaitu Jamal al-Din al-Afghani, sebagaian adalah produk dari tradisi yang sama dan bentara semangat liberalism baru yang mengantarkan Islam ke gerbang abad ke-19 dan 20.

B.    Biografi Jamaluddin Al-Afghani
Jamaluddin al-Afghani  dilahirkan di As’abad, dekat Kanar, di distrik Kabul, Afghanistan, 1838 (1254 H.). Ia mempunyai pertalian darah dengan Husein bin ‘Ali melalui at-Tirmizi, ahli hadits terkenal. Keluarganya mengikuti madzahab Hanafi.
Ia mengaku seorang Sayyid, keturunan Nabi, sepertinya tidak ada alasan untuk meragukan hal itu. Tetapi apakah ia seorang Afghan, seperti pengakuan sendiri, atau seorang Persia, seperti kata musuh-musuhnya?, seperti Syaikh Abu Al-Huda.

“Syaikh Abu Al-Huda, musuh diakhir hidupnya menyebutnya Al-Muta’afghin, “ia yang mengaku seorang Afghan”, dan menegaskan bahwa ia sesungguhnya seorang Persia dari Mazandaran. Arah dari pernyataan tersebut cukup penting karena ia seorang Persia, tentulah ia seorang Syi’ah, dan inilah yang senenarnya ingin dikatakan oleh musuh-musuhnya, dan agaknya ia sendiri ingin menolak menyebut dirinya seorang Afghan,  karena sebagian besar karirnya dijalani di negara-negara Sunni. Memang ada sebuah buku yang ditulis Persia yang mengaku keponakan laki-lakinya, dan memberikan bukti tak langsung bahwa ia seorang Persia dari kelahiran dan pengasuhan, dan Syi’ah dari warisan dan pendidikan. Ia belajar seperti yang dikemukakan buku itu, di kota-kota suci Syi’ah, di Najaf dan Karbala, dan terdapat bukti internal bahwa ia belajar di sana. Tulisan-tulisan dan kuliah-kuliahnya menunjukkan pengetahuan yang tak diragukan berasal dari tradisi filsafat Islam, khususnya Ibn Sina, dan ini adalah pengetahuan yang mudah didapat waktu itu di sekolah-sekolah Syi’ah, dimana tradisi Ibn Sina masih hidup, daripada di sekola-sekolah Islam Sunni”. 

Jamaluddin Al-Afghani  hijrah dengan keluarganya ke Qazwin dan kemudian ke Teheran, di situ ia belajar di bawah asuhan Aqashid Shadiq, teolog Syi’ah yang sangat terkemuka saat itu di Teheran. Dari Teheran ia pindah ke al-Najd di Irak, pusat studi keagamaan Syi’ah, disitulah ia menghabiskan waktunya selama empat tahun sebagai murid Murtadla al-Anshari, seorang teolog dan sarjana yang terkenal.
Sebagai manusia biasa, Jamaluddin rendah hati, sopan, dan suka bekerja keras.  Tidurnya sedikit sekali, bekerja lebih dari 18 jam sehari. Ia menyambut tamunya dengan sopan dan ramah. Edward G. Brownk, penulis karya terkenal, Sejarah Lituer Persia, menulis, “Orang yang paling rendah hati dan paling menonjol, tetapi sangat berhati-hati jika bertandang ke tempat orang, khususnya kepada yang berkedudukan tinggi.” Bicaranya sangat fasih, bahasanya terpilih. Ia berusaha menghindari kata-kata kasar dan ungkapan tidak senonoh, dan cermat dalam menyesuaikan ucapannya dengan kapasitas pendengarnya. Sebagai orator, ia hamper tidak ada tandingannya di Timur.
Al-Afghani adalah seorang anak yang cerdas , jauh melampaui remaja-remaja seusianya. Pada usia 18 tahun di Kabul, Jamaluddin tidak hanya menguasai ilmu keagamaan, tetapi juga mendalamai falsafah, hukum, sejarah, metafisika, kedokteran, sains, astronomi, dan astrologi.
Setelah membekali diri secara sempurna, dengan segala jenis ilmu Barat dan ilmu Timur. Ia memulai misi sucinya untuk membangkitkan kembali dunia Islam yang sedang mengalami proses pembusukan. Ia datang ke India  sebelum usianya genap 18 tahun dan berkelana di Negara itu lebih dari satu tahun.
Dari India, Jamaluddin al-Afghani melanjutkan perjalanan ke Mekkah. Di Kabul , sepulang menunaikan ibadah haji, Jamaluddin diminta penguasa Afghanistan, Pangeran Dost Muhammad Khan, untuk membantunya. Tahun 1864, Jamaluddin diangkat menjadi penasihat Sher Ali Khan. Beberapa tahun kemudian diangkat menjadi Perdana Menteri oleh Mihammad A’zam Khan. Namun karena campur tangan Inggris dan kekalahannya atas golongan yang di sokong Inggris, Jamaluddin Al-Afghani akhirnya meninggalkan Kabul ke Mekkah. Inggris yang menilai Jamaluddin sebagai tokoh berbahaya karena ide-ide pembaruannya, terus mengawasinya. Ia tak diperkenankan berjalan melalui jalan darat , juga tak diperkenankan bertemu dengan pemimpin-pemimpin India. Melalui jalan laut, Jamaluddin melanjutkan perjalanannya ke Kairo dan menetap untuk beberapa waktu di sana.
Disinilah ia berhubungan dengan para professor dan mahasiswa al-Azhar. Mereka langsung terkesan dalam dengan ilmu pengetahuan dan tingkat kesarjanaannya yang tinggi. Diantara gagasan-gagasa progresifnya yang sangat membekas dikalangan cendekiawan Mesir.
Pada mulanya ia menjauhi persoalan-persoalan politik Mesir dan memusatkan perhatiannya pada bidang ilmu pengetahuan dan sastra Arab. Rumahnya dijadikan tempat pertemuan murid-murid dan para pengikutnya. Di sinilah ia memberikan kuliah dan mengadakan diskusi. Salah seorang murid al-Afgani adalahMuhammad Abduh dan Saad Zagul , pemimpin kemerdekaan Mesir.
Ia kembali ke lapangan politik ketika pada tahun 1876 melihat adanya campur tangan Inggris dalam soal politik di Mesir. Kondisi tersebut mendorong al-Afgani untuk terjun ke dalam kegiatan politik di Mesir. Ia bergabung dengan perkumpulan yang terdiri atas orang-orang politik di Mesir.
Orang Inggris yang kebetulan memegang pengaruh politik besar di Mesir pada waktu itu mulai mencium popularitasnya yang terus menanjak, ide-idenya yang maju demi persatuan dunia Muslim, yang membahayakan politik adu domba mereka.  Meraka takut kepada sikapnya yang berani. Mereka lalu menghasut kaum teolog ortodoks agar timbul badai agitasi melawan Afghani. Ini pada gilirannya menjadi alasan pada gubernur jendral Inggris untik menasihati pemerintah agar mengusir jamaluddin Al-Afghani dari Mesir.  Dan kemudian ia kembali ke Paris.
Namun Jamaluddi Al-Afghani tidak ditakdirkan untuk hidup lama. Ia mendapat serangan kanker dirahangnya pada tahun 1896, dan meninggal dunia pada 9 Maret 1897 . Ia dimakamkan dengan penghormatan besar di makam Sheikh, dekat Nishan Tash.

C.    Pembaharuan Sayyid Jamaluddin Al-Afghani
Pada akhir abad ke-13 hijriah, ketika umat Islam terperosok ke kegelapan dan dekadensi, seorang dengan pribadi yang menonjol tampil ke depan. Ia berhasil menghalau kesedihan yang meliputi suasana masa itu. Orang itu adalah Jamaluddin Al-Afghani, pemberi aba-aba bagi kebangkitan kembali Islam di abad 19 Masehi. Ia mu’allim yang suka berkeliling, jenius yang kreatif cendekiawan dan orator yang besar, yang denga kelebihan-kelebihan itu, ia membangkitkan umat Islam secara menyeluruh. Ia bergerak di ibu kota-ibu kota berbagai Negara Islam. di sana ia memberikan kuliah dan menulis. Ia juga mengulas tulisan-tulisannya yang berhubunga dengan misinya mempersatuka umat Islam.
Afghani memulai pembaharuan setelah beliau mendirikan gerakan Islam yang revolusioner, untuk membebaskan Dunia Islam dan mempersatukannya kembali dengan sologan yang sederhana dan jelas. Islam menghadapi penjajahan dari luar dan tekanan dari dalam. Ide-ide Afghani menyebar di kalangan para tokoh agama, para perwira, sastrawan dan para pemikir yang hijrah dari Syam. Maka meletuslah revolusi di Mesir menuntut kebebasan, konstitusi, dan persamaan antara masyarakat pribumi dengan orang asing. Jiwa revolusi itu terus berlanjut hingga pada masa Abdullah An-Nadim; seorang orator revolusi yang bersembunyi berpuluh-puluh tahun.
Sayyid Jamaluddin Al-Afghani adalah seorang pembaharu muslim pertama yang berpengaruh di dunia Islam, khususnya di Mesir. Masa kecil dan remajanya ia habiskan di Afghanistan. Namun ketika beranjak dewasa, ia berpindah dari satu Negara ke Negara lainnya. Seperti India, Mesir dan Prancis.
Afghani adalah pembaharu muslim pertama yang menggunakan term Islam dan Barat sebagai dua fenomena yang selalu bertentangan. Sebuah pertentangan yang justru harus dijadikan patokan berfikir kaum muslim, yaitu untuk membebaskan kaum muslim dari ketakutan dan eksploitasi yang dilakukan oleh orang-orang Eropa.
Al-Afghani dipandang sebagai seorang pahlawan besar yang mencurahkan hidupnya untuk membela Islam dari serangan Barat. Tidak hanya secara keagamaan, intelektual dan cultural, melainkan juga politik.
Pengaruh pemikirannya meliputi Iran, Afghanistan, India, Negara-negara Arab, Turki, bahkan Eropa Barat. Sebagai seorang Muslim yang sempurna pada zamannya, dia menggabungkan ilmu-ilmu tradisional Islamnya dengan pelbagai ilmu pengetahuan yang diperolehnya dari Eropa dan pengetahuan modern. Walaupun demikian, ia tidak mengeluarkan pemikiran baru. Dia juga bukan perancang yang meninggalkan tulisan-tulisan bernilai tinggi dalam bidang agama atau filsafat Islam.
Menjelang usia 19 tahun, ia pergi ke India selama lebih dari satu tahun. Seperti dimanapun ia berada, di sini ia mencoba mempengaruhi mereka yang berhubungan dengannya. Kemampuannya berbicara dan pengetahuannya yang dalam, membuatnya memukau banyak orang. Dia orator yang tangguh, mendorong rakyat India untuk bangkit melawan kekuasaan Inggris. 
Setelah itu ia melanjutkan perjalanannya ke Mesir. Di Kairo, ia tinggal cukup lama. Di tempat kediamannya di Kairo, Al-Afghani memberikan kuliah dalam berbagai subyek, termasuk falsafat Islam. selain memberikan kuliah, Afghani pun mengajak pemuda Mesir untuk memperjuangkan hak-hak demokrasi politiknya melalui media massa. Bahkan lebih dari itu, Afghani menganjurkan pemuda Mesir untuk membentuk lembaga-lembaga perjuangan politik yang lebih konstitusional.
Selama 8 tahun di Mesir, ia telah berhasil melahirkan pemikiran-pemikiran baru yang kemudian bergema ke seluruh dunia. Pemikiran-pemikiran baru itu disampaikannya melalui dua cara. Cara yang pertama melalui pengajaran yang diadakan di rumahnya, di jalan “Khan Halili” yang dihadiri oleh ulama-ulama tekemuka,  dengan pembahasan kitab-kitab politik, tasawuf, logika dan filsafat. Cara yang kedua melalui ceramah-ceramah dan diskusi yang sifatnya intelektual di forum persaudaraan, pada umumnya dihadiri oleh kalangan sastrawan, seniman, budayawan, politikus dan agamawan, dengan pembahasan sekitar sastra dan perjuangan bangsa. Di sini ia berusaha membelokkan arah orientasi sastra selama ini yang semula pada keagungan dan gemerlap kalangan atas (aristocrat), kea rah kalangan bawah, yaitu rakyat dengan segala penderitaan, keterbelakangan dan kemiskinan mereka.
Dalam pengajian-pengajian di rumahnya itu diungkapkan panjang lebar berbagai hal yang dianggapnya penting dan perlu mendapat perhatian. Dari uraian-uraian itu tmpak bagi kita bahwa Jamaluddin berusaha untuk mengangkat peran Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah. Menurutnya, umat Islam selama ini tiak banyak memahami al-Qur’an, sehingga pemikiran dan tindak tanduk mereka keluar dari garis-garis Al-Qur’an. Di dalam Urwatul Wutsqa, ia menulis berkali-kali mengenai masalah ini. Karena tidak memahami Al-Qur’an maka orang mudah terjerumus ke dalam berbagai faham yang menyesatkan.
Setelah sekitar delapan tahun ia menggerakkan kesadaran politik masyarakat Mesir, khususnya di kalangan pemudanya, menjelang akhir tahun 1879, kerinduan dan rasa tanggung jawab untuk melakukan hal yang sama bagi masyarakat India, memaksanya untuk kembali ke sana. Mulanya ia tinggal di Hegderabad, kemudian di Kalkuta. Sebagaimana kedatangannya yang kedua, kali ini ia pun mendapat pengawasan yang sangat ketat dari pemerintah colonial Inggris. Sungguhpun demikian, kali ini ia berjuang menggerakkan kesadaran politik masyarakat India. Pada tahun 1883, ia berangkat ke Amerika dan menetap di sana selama beberapa bulan, dan kemudian ia pergi ke London, Inggris. Dari London, pada awal September 1883, ia terus menuju Paris, Prancis.
Untuk menyebarluaskan gagasan pembaruan pemikiran, dan menumbuhkan, serta menggerakkan kesadaran politik masyarakat dunia Islam dari cengkraman klonialisme, Pada tahun 1883 ketika berada di Paris, al-Afgani mendirikan suatu perkumpulan yang diberi nama al-’Urwah al-Wusqa (Ikatan yang Kuat), yang anggotanya terdiri atas orang-orang Islam dari India, Mesir, Suriah, Afrika Utara, dan lain-lain. Tujuan didirikannya perkumpulan tersebut, antara lain, memperkuat rasa persaudaraan Islam, membela Islam, dan membawa umat Islam kepada kemajuan.
Jamaluddin Al-Afghani pernah menerbitkan jurnal Al-Urwah-Al-Wuthqa  yang mengecam keras Barat. Namun jurnal tersebut juga nama perkumpulan yang didirikannya di Paris pada tahun 1882 sebagaimana dikatakan di atas. Penguasa Barat akhirnya melarang jurnal ini di edarkan di Negara-negara Muslim, karena dikhawatirkan dapat menimbulkan semangat persatuan Islam. karena dilarang diedarkan, usia juranal ini hanya delapan bulan.
Pada tahun 1889, Al-Afghani diundang ke Persia untuk suatu urusan persegketaan politik antara Persia dengan Rusia. Bersamaan denga itu, Al-Afghani melihat ketidakberesan politik dalam negeri Persia sendiri. Karenanya, ia menganjurkan perombakan system politiknya yang masih otokratis. Pada 1892, undangan yang sama datang dari penguasa Turki, Sultan Abdul Hamid, untuk kepentingan politik Islam Istambul dalam menghadapi kekuatan Eropa.
Al-Afghani adalah seorang tokoh pembaruan politik. Ia bukan saja menantang klonialisme politik Barat, melainkan juga system politik otokratis yang dianut Negara-negara Islam. menurutnya, untuk melawan kekuatan asing masyarakat dunia Islam terlebih dahulu harus dibebaskan dari belenggu traisionalisme politik dan budaya, termasuk system pemahaman dan sikap keberagamannya. Kemudian masyarakat dunia Islam harus menyatukan pandangan idiologi politiknya, yang terkenal dengan sebutan Pan-Islamisme.
Di Persia, Shah Nasiruddin Qachar, penguasa Persia, menawarkan posisi perdana menteri. Awalnya, Jamaluddin ragu-ragu, namun akhirnya ia menerima posisi itu. Ide-ide pembaruan Islam, membuat Jamaludin semakin popular di Persia. Ini mengkhawatirkan Nasiruddin, apalagi Jamaluddin terang-terangan mengkritik praktik-praktik kekuasaan penguasa Persia itu. Akhirnya ia ditangkap dan diusir, namun kesadaran masyarakat telah bangkit untuk menumbangkan Nasiruddin.
Gagasan Jamaluddin Al-Afghani islam membuatnya semakin dikenal sebagai tokoh pembaharu. Ia melihat kemunduran umat Islam bukan karena umat Islam telah dipengaruhi sifat statis, fatalis, meninggalkan akhlak yang tinggi, dan melupakan ilmu pengetahuan. Intinya umat Islam menurut beliau telah meninggalkan ajaran yang sebenarnya. Islam menghendaki umatnya yang dinamis, mencintai ilmu pengetahuan dan tidak fatalis. Sifat statis membuat umat Islam tidak berkembang dan hanya mengikuti apa yang menjadi ijtihad ulama sebelum mereka. Mereka tidak berbuat dan menggentung harapan pada nasib.
Kesalahan umat Islam dalam memahami qhada dan qhadar menurut Jamaluddin Al-Afghani, menjadi factor yang ikut memundurkan umat Islam tidak mau berusaha dengan sungguh-sungguh. Jamaluddin Al-Afghani menyebutkan, qhada dan qhadar mengandung pengertian bahwa segala sesuatu itu terjadi menurut sebab-musabbab (kausalitas). Factor-faktor ini menjadikan umat Islam statis, fatalis, dan mundur lemahnya pendidikan dan kurangnya pengetahuan umat tentang ajaran dasar-dasar agama, lemahnya persaudaraan, perpecahan umat Islam yang diikuti pemerintahan yang absolute, meepercayakan kepemimpinan kepada yang tidak dipercaya, dan kurangnya pertahanan militer, merupakan factor-faktor yang membawa kemunduran umat Islam. Faktor-faktor ini menjadikan umat Islam statis, fatalis, dan mundur.
Menurut Al-Afghani, jalan untuk memperbaiki keadaan umat Islam ialah sebagai berikut :
1.    Melenyapkan pengertian-pengertian salah yang dianut pada umumnya, dan kembali pada ajaran-ajaran dasar Islam yang sebenarnya. Hati mesti disucikan, budi pekerti luhur dihidupka kembali, demikian pula kesediaan berkorban untuk kepentingan umat. Dengan berpedoman pada ajaran-ajaran dasar, umat Islam akan dapat bergerak maju mencapai kemajuan.
2.    Corak pemerintahan otokrasi harus diubah dengan corak pemerintahan demokrasi. Kepala Negara harus mengadakan Syura dengan pemimpin-pemimpin masyarakat yang mempunyai banyak pengalaman. Pengetahuan manusia secara individual terbatas sekali. Islam dalam pendapat Al-Afghani menghendaki pemerintahan republic yang di dalamnya terdapat kebebasan mengeluarkan pendapat dan kewajiban kepala Negara tunduk kepada undang-undang dasar.
3.    Di atas segala-galanya persatuan umat Islam diwujudkan kembali. Dengan bersatu dan mengadakan kerja sama yang erat umat Islam akan dapat kembali memperoleh kemajuan. Persatuan dan kerja sama merupakan sendi yang amat penting dalam Islam.
Tugas utama yang diembannya ialah menghimpun kembali kekuatan Islam yang tercecer, serta menyingkirkan kemusykilan dan kesulitan yang dialami oleh kaum Muslim pada zamannya. Dia sendiri bekerja keras untuk mengatasi berbagai kesulitan tersebut. Jika dia mengetahui bahwa saudara Muslimnya ditimpa bencana, dengan secepat kilat dia berusaha memahami kondisi mereka, serta berupaya memberikan bantuan dan perbaikan.
Bagian terbesar dari kehidupannya dicurahkan untuk membela negara-negara Islam yang terancam oleh bahaya ekspansi Eropa, tetapi ia tidak hanya mengemukakan pemikiran politik. Masalah utama pemikirannya, atau masalah yang memberikan bentuk pemikirannya, bukanlah tentang bagaimana membentuk negara-negara Muslim menjadi kuat dan berhasil secara politik, melainkan, bagaimana meyakinkan kaum Muslim untuk memahami agama mereka secara benar dan hidup sesuai dengan ajaran Islam. Jika mereka melaksanakan hal itu, ia yakin negara-negara mereka tentulah akan menjadi kuat.
Pemikiran politik Al-Afghani, benar-benar multi wajah dan sangat kompleks, yang bisa menggiring seseorang salah memahami jika ia hanya memandangnya dari satu aspek saja. Tetapi satu hal yang jelas: Al-Afghani telah memberikan kontribusi yang besar atas munculnya kesadaran baru di kalangan kaum Muslim, yang mendorong mereka untuk melakukan usaha-usaha yang lebih serius demi membebaskan diri mereka sendiri dari klonialisme asing. Dalam konteks ini tidaklah berlebihan untuk menyimpulkan bahwa ia telah mengarahkan ke jalan kelahiran kembali (renaissance) Asia.

D.    Gagasan Pan-Islamisme Al-Afghani
Pengalaman yang diserap Al-Afghani selama berada di Barat menumbuhkan semangatnya untuk memajukan umat. Barat yang diperankan oleh Inggris dan Prancis mulai hendak menancapkan dominasi politiknya di dunia Islam, maka pasti akan berhadapan dengan Al-Afghani. Adanya anggapan dasar yang dipegang oleh Al-Afghani menghadapi Barat seperti yang diungkapkan L. Stoddart, yakni :
1.    Dunia Kristen sekalipun mereka berbeda dalam keturunan, kebangsaan, tetapi apabila menghadapi dunia Timur (Islam) mereka bersatu untuk menghancurkannya.
2.    Semangat perang salib masih tetap berkobar, orang Kristen masih menaruh dendam. Ini terbukti umat Islam diperlakukan secara diskriminatif dengan orang Kristen.
3.    Negara-negara Kristen membela agamanya. Mereka memandang Negara Islam lemah, terbelakang dan biadab. Mereka selalu berusaha menghancurkan dan menghalangi kemajuan Islam.
4.    Kebencian sebagian umat Islam bukan hanya sebagian mereka, tetapi seluruhnya. Mereka terus-menerus bersembunyi dan berusaha menyembunyikannya.
5.    Perasaan dan aspirasi umat Islam diejek dan difitnah oleh mereka. Istilah nasionalisme dan patriotosme di Barat, di Timur disebut Fanatisme.
Menurut Al-Fghani, hal-hal tersebut diatas menuntut adanya persatuan umat Islam untuk menghadapi dunia Barat  dan mempertahankannnya dari reruntuhan. Disamping itu Al-Afghani melihat bahwa kondisi umat Islam sendiri memang berada dalam kemunduran yang mengkhawatirkan. Kemunduran itu menurut Al-Afghani bukan karena ajaran Islam, tetapi karena umat Islam itu sendiri yang tidak berupaya mengubah nasibnya.
Perpecahan terjadi dikalangan mereka, maka pemerintahan menjadi absolute, pemimpin tidak dapat dipercaya, lemah dalam bidang militer, dan ekonomi bersamaan dengan datangnya intervensi asing.  Untuk mencapai kemajkuan dan membebaskan diri dari intervensi Barat, Al-Afghani berusaha menghimpun kembali kekuatan dunia Islam yang tercecer dengan mencetuskan jiwa persatuan dan kesatuan serta jiwa ingin maju dengan tidak membedakan hak dan kewajiban sesama umat Islam baik wanita maupun pria. Al-afghani mengajak umat, pemimpin dan kelompok agar bersatu dan bekerja sama dalam meeraih kemajuan dan membebaskan diri dari intervensi Barat. Cara menghadapinya adalah dengan menirunya dalam hal-hal positif, selain kebebasan dan demokrasinya.
Menurut Al-Afghani, wanita dan pria sama dalam pandangannya. Keduanya mempunyai akal untuk berfikir. Ia melihat tidak ada halangan bagi wanita untuk bekerja di luar jika situasi menuntut itu. Dengan jalan demikian, Al-Afghani emnginginkan agar wanita juga meraih kemajuan dan bekerja sama dengan pria untuk mewujudkan umat Islam yang maju dan dinamis. 
Al-Afghani yakin bahwa kebangkitan Islam merupakan tanggung jawab umat muslim, bukan tanggung jawab Sang Pencipata. Masa depan kaum muslim tidak mulia kecuali jika mereka menjadikan diri mereka sendiri sebagai orang besar. Jadi mereka harus bangkit dan menyingkirkan kelalaian.
Oleh karena itu, keselamatan ummah tidak mungkin datang dari para penguasa yang baik saja. Tidak ada jalan pintas menuju pembaruan Islam. Surat-surat kabar tidak mungkin melakukannya sendiri, sekolah-sekolah tak bisa melakukannya, meskipun mereka dapat melakukan sesuatu untuk meningkatkan standar moralitas publik dan menyebarkan ide kesatuan. Tidak mungkin ada pembaruan Islam yang sebenarnya, kecuali bila para ulama kembali pada kebenaran Islam, dan komunitas secara keseluruhan menerimanya, serta hidup sesuai dengan Islam. 
Jamaluddin ingin menghilangkan pertikaian antar umat Islam, agar dapat memimpin diri sendiri dan tangguh di hadapan bangsa-bangsa lainnya. Secara umum Jamaluddin memperhatikan agama Islam dalam perjuangannya melawan imperialism Barat, dan secara khusus ia juga memperhatikan ajaran Islam yang menyuruh umatnya untuk menjaga keperibadian, tidak bercampur dengan bangsa lain, apalagi tunduk di bawah penjajahan orang asing.
Untuk tujuan diatas, Al-Afghani mencetuskan ide Pan Islamisme. Semangat ini di kobarkan keseluruh negeri Islam yang tengah berada dalam kemunduran da dominasi Barat. Pan Islamisme (Al-Jami’iyyah Al-Islamiyyah) ialah rasa solidaritas seluruh umat Islam. Solidaritas seperti itu sudah ada dan diajarkan sejak Nabi Muhammad S.A.W, baik dalam menghadapi Kafir Quraisy ataupun dalam kegiatan-kegiatan sebagai upaya menciptakan kesejahteraan umat.
Semangat Pan Islamisme yang diserukan Al-Afghani memberikan pengaruh besar dikalangan umat terutama bagi para pemimpinnya. Hal ini kemudian menyadarkan mereka akan besarnya ancaman Barat. Sultan Abdul hamid dari Kerajaan Turki Utsmani  misalnya, menyambut dengan penuh antusias. Ia mendirikan organisasi seruan Pan Islamisme dengan mengutus banyak ornag ke berbagai Negeri Islam dengan pesan agar umat Islam bersatu dan melepaskan diri dari pemerintahan Barat. Hal ini dilakukan oleh Sultan Abdul Hamid selama 30 tahun. Seruan Pan Islamisme menghasilkan penngaruh yang sangat besar dan mendalam. Diberbagai negeri muslim telah lahir tokoh-tokoh umat yang berjuang menuntut kemerdekaan dari penjajah Barat, seperti Abdul Hamid di Turki, Muhammad Abduh dan Saad Saghlul di Mesir serta tokoh-tokoh lainnya.
Dengan ide Pan-Islamisasinya, Al-Afghani menjadikan Islam sebagai Ideologi anti-kolonialis yang menyerukan aksi politik menentang Barat. Menurut beliau, Islam adalah faktor yang paling esensial untuk perjuangan kaum Muslimin melawan Eropa, dan Barat pada umumnya.
Pan Islamisme ini bukan berarti leburnya kerajaan Islam menjadi satu, tetapi mereka harus mempunyai satu pandangan bersatu dalam kerjasama. Persatuan dan kerjasama merupakan sendi yang amat penting dalam Islam. Persatuan Islam hanya dapat dicapai bila berada dalam kesatuan pandangan dan kembali pada ajaran Islam yang murni yaitu al-Qur’an dan Sunnah.
Untuk mencapai usaha pembaharuan di atas maka :
1.    Rakyat harus dibersihkan dari kepercayaan ketahayulan
2.    Orang harus yakin bahwa ia dapat mencapai tingkat / derajat budi luhur.
3.    Rukun iman harus benar-benar menjadi pandangan hidup.
4.    Setiap generasi umat harus ada lapisan istimewa untuk memberi pengajaran dan pendidikan pada manusia-manusia yang bodoh dan juga memerangi hawa nafsu jahat dan menegakkan disiplin.
Inti Pan-Islamisme Al-Afghani terletak pad aide bahwa Islam adalah satu-satunya ikatan kesatuan kaum Muslim. Dan jika ikatan tersebut diperkokoh, jika ia menjadi sumber kehidupan dan pusat loyalitas mereka, maka kekuatan solidaritas yang luar biasa akan memungkinkan pembentukan dan pemeliharaan Negara Islam yang kuat dan stabil. Menurut Al-Afghani, perselisihan dan perpecahan di kalangan kaum Muslim hanya akan membawa umat kepada stagnasi dan kelemahan.
Seluruh kiprah Al-Afghani ini membuat dirinya tercatat sebagai salah satu pahlawan besar dan putra terbaik Islam. Sepak terjangnya dalam menggerakkan kesadaran umat Islam dan gerakan Revolusionernya yang membangkitkan dunia Islam, menjadikan dirinya orang yang paling dicari oleh pemerintahan colonial itu, pemerintahan Inggris. Namun, komitmen dan konsistennya yang sangat tinggi terhadap nasib umat Islam, membuat dirinya terus berjuang, tiada kenal lelah, hingga akhir hayatnya.

E.    Konsep Negara Menurut Al-Afghani
Selain Pan Islamisme, Al-Afghani juga mengajukan konsep Negara yang demokratis bagi negeri-negeri Islam. Al-Afghani banyak mencela system pemerintahan umat Islam yang bercorak otokratis monarki absolute. Menurutnya kepala Negara harus mengadakan syura dengan pemimpin-pemimpin masyarakat yang memiliki banyak penglaman. Pengetahuan manusia amat terbatas. Islam dalam pandangan Al-Afghani menghendaki pemerintahan republic, dimana kebebasan mengeluarkan pendapat dan kewajiban kepala Negara tunduk kepada Undang-undang.
Menurut Al-Afghani, Islam menghendaki bentuk republic karena didalamnya terdapat kebebasan berpendapat dan kepala Negara harus tunduk kepada Undang-Undang Dasar. Pendapat ini baru dalam politik sejarah Islam. Sebelumnya umat Islam hany mangenal system kekhalifahan yang mempunyai kekuasaan yang absolute. Dalam pemerintah republik yang berkuasa aslah undang-undang an hokum, bukan kepala Negara. Ia hanya mempunyai kekuasaan untuk menjalankan undang-undang dan hokum yang telah digariskan oleh lebaga legislative untuk memajukan kemaslahatan rakyat.  Pendapat Al-Afghani tersebut telah dipengaruhi oleh pemikiran Barat, penafsiran Al-Afghani tersebut lebih maju dari Muhammad Abduh. Islam dalam pemikiran Muhammad Abduh tidak menetapkan suatu pemerintahan, jika system khalifah masih tetap menjadi pilihan sebagai model pemerintahan, maka bentuk demikian pun harus mengikuti perkembangan masyarakat dalam kehidupan materi dan kebedaan berfikir.
Al-Afghani, asosiasi politik itu harus meliputi seluruh umat Islam dari segala penjuru dunia Islam, baik yang hidup dalam Negara-negara merdeka, termasuk Persia, maupun mereka yang masih merupakan rakyat jajahan. Ikatan tersebut yang didasarkan atas solidaritas akidah Islam, bertujuan membina kesetiakawanan dan persaatuan umat Islam dalam perjuangan : Pertama, menentang tiap system yang berdasarkan musyawarah seperti yang diajarkan Islam, hal mana juga berarti menentang system pemerinyahan Utsmaniyah yang absolute itu. Kedua, menentang kolonialisme dan dominasi Barat. Menurut Al-Afghani dalam ikatan itu eksistensi dan kemandirian masing-masing Negara anggota tetap diakui dan dihormati, sedangkan kedudukan para kepala negaranya, apapun gelarnya, tetap sama dan sederajat antara satu dengan yang lain, tanpa ada satupun dari mereka yang lebih ditinggikan. 
Sebab-sebab kemunduran umat Islam yang bersifat politis, yaitu pemerintahan absolute. Abduh pun melihat kemunduran umat Islam akibat dari pemerintahan sewenang-wenang dan absolute. Didalam pemerintahan absolute dan otokrasi tidak ada kebebasan berpendapat. Kebebasan hanya pada raja atau kepala Negara untuk bertinadak yang tidak diatur oleh undang-undang. Karena itu Al-Afghani menghendaki agar corak pemerintahan absolute dan otokrasi diganti dengan corak pemerintahan demokrasi.
Pemerintahan yang demokrasi menurut Al-Afghani menghendaki adanya Majelis Permusyawaratan Rakyat, lembagaa ini bertugas member usul dan pendapat kepada pemerintah dalam menentukan suatu kebijaksanaan Negara. Ide dari wakil rakyat yang berpenglaman merupakan sumbangan yang berharga bagi pemerintah. Karenanya para wakil rakyat haruslah berpengalaman dan berwawasan luas dan bermoral baik. Wakil-wakil tersebut akan membawa dampak positif pada pemerintahan saehingga akan melahirkan Undang-undang dan peraturan atau keputusan yang baik dari rakyat.
Demikian juga para pemegang kakuasaan haruslah orang-orang yang paling taat terhadap undang-undang. Kekuasaan yang diperoleh bukanlah karena kehebatan suku, ras, kekuatan materil dan kekayaannya. Model inilah yang berlaku didalam system khalifah, yang bagi Al-Afghani tidak sesuai dengan ajaran Islam. Baginya kekuasaan itu harus diperoleh melalui pemilihan dan disepakati oleh rakyat. Dengan demikian orang yang dipilih mempunyai dasar hokum untuk melaksanakan kekuasaannya itu.
Ide Al-Afghani tentang pemerintahan lebih mirip dengan ide para teoretisi Muslim, raja yang adil mengakui sebuah hukum yang fundamental. Dari segi tempramen, ia adalah seorang yang otokratik dan tidak sabaran, dan seluruh hidupnya dicurahkan untuk mencari seorang penguasa Muslim yang dapat diajak bekerja sama demi pembaruan Islam, karena dalam persekutuan antara penguasa dan filosof, seperti yang disarankan Al-Farabi, sebagai ganti dari raja adalah filosof yang ideal, yang jarang terdapat.
Meskipun ide-ide Al-Afghani bertujuan untuk mempersatukan umat Islam guna menghadapi penetrasi Barat dan kekuatan Turki Utsmani yang dipandangnya menyimpang dari Islam, tapi ide Pan Islamisme tidak jelas. Apakah bentuk kerja sama itu dalam rangka mempersatukan umat Islam dalam bentuk asosiasi, atau dalam bentuk federasi yang dipimpin oleh seorang atau badan yang mengkoordinasikan kerjasama tersebut atau seperti Negara persemakmuran dibawah Negara Inggris.
Terdapat kontroversi dikalangan sarjana dan kaum Islam mengenai apakah Pan-Islamisme Al-Afghani tidak atau berarti “kekhalifahan universal” di bawah seorang penguasa tunggal (khalifah). Sati’ Al-Husri, seorang pemikir nasionalisme Arab, misalnya, menegaskan bahwa Al-Afghani tidak pernah mendorong ide bahwa umat Muslim harus hidup dan diperintah oleh seorang penguasa tunggal. Pada sisi yang lain, sejumlah kaum Muslim dan gerakan Islam mengklaim, Al-Afghani adalah bapak spiritual mereka untuk mendirikan kekhalifahan universal yang dipimpin oleh penguasa tunggal.
Al-Afghani sendiri tidak meyakini bahwa kaum Muslim harus mendirikan kekhalifalahan universal. Pengalaman pahit da kekecewaan terhadap Sultan Ottoman Abd Hamid II membuat hal itu tidak mungkin dan tidak dapat hidup. Dalam salah satu artikelnya, Al-Afghani memberikan sebuah isyarat mengenai kerangka entitas politik Muslim. Sekali lagi ia menunjukkan bahwa umat Muslim, Tuhan telah menjadikannya bersaudara, harus bersatu agar memungkinkan untuk membuat bendungan demi melindungi mereka dari arus banjir yang menyerangnya.

“Tetapi saya tidak bermaksud bersikukuh bahwa semua Muslim harus mempunyai penguasa tunggal, karena hal ini boleh jadi sulit untuk dicapai. Saya meminta, bahwa kekuasaan tertinggi mereka Al-Qur’an dan Islam harus menjadi dasar kesatuan mereka”.

Menurut Munawir Sadjali, Pan-Islamisme Al-Afghani itu adalah suatu asosiasi antar Negara-negara Islam dan umat Islam di wilayah jajahan untuk menentang kezaliman intern para penguasa muslim yang alim, menentang kolonialisme dan imperealisme Barat serta mewujudkan keadilan.

F.    Pemikiran Jamaluddin Al-Afghani : Revivalis Dan Modernis
Semua orang sepakat bahwa dialah yang menghembuskan gerakan Islam modern dan mengilhami pembaharuan di kalangan kaum Muslim yang hidup ditengah-tengah kemodernan. Dia pula yang pengaruhnya amat besar terhadap gerakan-gerakan pembebasan dan konstitusional yang dilakukan dinegara-negara Islam setelah zamannya. Ia menggabungkan ilmu-ilmu tradisional Islamnya dengan berbagai ilmu pengetahauan yang diperolehnya dari Eropa dan pengetahuan modern.
Al-Afghani mengembangkan pemikiran dan gerakan”Salafiah” yakni aliran keagamaan yang berpendirian bahwa untuk memulihkan kejayaannya umat Islam harus kembali kepada ajaran Isam yang masih murni sepereti yang dahulu diamalkan oleh generasi pertama Islam, yang biasa disebut “Salaf” (pendahulu) yang shaleh. Sebenarnya Al-Afghani bukanlah pemikir Islam yang pertama melopori aliran “Salafiah” (revivalis). Ibnu Taymiayah telah mengajarkan teori yang serupa, begitu pula Syekh Muhmmad Abdul Wahab pada abad ke-18. Tetapi “Salafiah” (baru), dari Al-Afghani terdiri dari tiga komponen utama, yakni :
1.    Keyakinan bahwa kebangunan dan kejayaan Islam kembali hanya mungkin terwujud kalau umat Islam kembali kepada ajaran Islam yang masih murni, dan meneladani pola hidup para sahabat Nabi khususnya (Al-Khulafaur Ar-Rasyidin).
2.    Perlawanan terhadap kolonialisme dan dominasi Barat, baik politik, ekonomi maupun kebudayaannya.
3.    Pengakuan terhadap keunggulan Barat dalam bidang ilmu dan teknologi dan karenanya umat Islam harus belajar dari barat dalam dua bidang tersebut, yang pada hakikatnya hanya mengambil kembali apa yang dahulu disumbangkan oleh dunia Islam kepada Barat, dan kemudian secara selektif dan kritis memenfaatkan ilmu dan teknologi Barat itu untuk kejayaan kembali dunia Islam. Adapun aliran-aliran “Salafiyah” sebelum Al-Afghani hanya terdiri dari unsure pertama saja. 
Afghani mendiagnose penyebab kemunduran di dunia Islam, adalah tidak adanya keadilan dan syura (dewan) serta tidak setianya pemerintah pada konstitusi dikarenakan pemerintahan yang sewenang-wenang (despotik), inilah alasan mengapa pemikir-pemikir di Negara-negara Islam di Timur tidak bisa mencerahkan masyarakat tentang inti sari dan kebaikan dari pemerintahan republik.
Reformasi atau pembaharuan dalam bidang politik yang hendak diperjuangkan oleh “Salafiyah” (baru) di Negara-negara Islam adalah pelaksanaan ajaran Islam tentang musyawarah melalui dewan-dewan konstitusi dan badan perwakilan (rakyat), pembatasan trhadap kekuasaan dan kewenangan pemerintah dengan konstitusi dan undang-undang, serta pengerahan kekuatan dan potensi rakyat untuk mendukung reformasi politik sekaligus untuk membebaskan dunia Islam dari penjajahan dominasi dunia Barat. Menurut Al-Afghani, cara terbaik dan paling efektif untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut adalah melaui revolusi yang didasarkan atas kekuatan rakyat, kalau perlu dengan pertumpahan darah. Ia mengatakan bahwa kalau memang ada sejumlah hal yang harus direbut dan tidak ditunggu untuk diterima sebagai hadiah atau anugrah, maka kebebasan dan kemerdekaan merupakan dua hal tersebut.
Al-Afghani disebut juga sebagai modernis Muslim yang pertama dan asli. Walaupun tidak melakukan modernism di bidang intelektual secara spesifik, ia telah menggugah kaum Muslim untuk mengembangkan dan menyuburkan disiplin-disiplin filosofis dan ilmiah, dengan memperluas kurikulum lembaga-lembaga pendidikan dan melakukan pembaruan-pembaruan pendidikan secara umum.
Sambil mengokohkan dalam pidato-pidatodan tulisan-tulisannya bahwa tak ada sesuatu pun dalam prinsip-prinsip dasar Islam yang tak sesuai dengan akal atau ilmu pengetahuan (sains), ia juga menggugah kaum Muslim untuk mengembangkan kandungan Islam Zaman Pertengahan untuk memenuhi tuntutan-tuntutan masyarakat modern.
Tujuan utama gerakan Al-Afghani ialah menyatukan pendapat semua Negara-negara Islam dibawah satu kekhalifahan, untuk mendirikan sebuah imperium Islam yang kuat dan mampu berhadapan dengan campur tangan bangsa Eropa. Ia ingin membangun kesadaran mereka akan kejayaan Islam pada masa lampau yang menjadi kuat karena bersatu. Menyadarkan bahwa kelemahan umat Islam karena mereka terpecah-belah.
Di Eropa Al-Afghani mengadakan perundingan dengan Sir Randolph Churcildhan Drummon Wolf tentang masalah Mesir dan penyelesaian pemberontakan Al-Mahdi di Sudan secara damai.  Sewaktu Al-Afghani berada di Eropa, kegiatan beliau bukan hanya di Paris saja,  melainkan sampai pula ke London  dan Rusia.
Dan tahun 1889, Al-Afghani diundang ke Persia oleh Nasiruddin Syah untuk menyelesaikan persengketaan Rusia dan Persia yang pro Inggris. Al-Afghani pun sempat menjadi perdana menteri.  Al-Afghani tidak sependapat dengan Syah Persia yaitu Nasiruddin Syah, ketika itu Al-Afghani tidak setuju akan konsesi-konsesi kepada Inggris. Namun Syah tetap pada pendiriannya, akan tetapi sebelum Nasiruddin Syah dilengserkan, Al-Afghani sudah diusir dari Persia. Kemudian Nasiruddin Syah meniggal dunia akibat dibunuh oleh pengikut Al-Afghani. 
Dan kemudian dia diundang oleh Sultan Hamid II, penguasa Turki Usmani mengundangnya untuk menetap di Istambul karena Sultan membutuhkan pemikirannya serta ingin memanfaatkan pengaruh Al-Afghani atas Negara-negar Islam untuk menentang Eropa, yang ketika itu mendesak Kerajaan Usmani.

“Untuk sementara waktu, ia gembira dengan kebaikan Sultan an memiliki pengaruh di istana, tetapi lagi-lagi peristiwa berulang dengan sendirinya. Ia mendatangkan permusuha dari Syaikh Abu Al-Huda; dan secara umum dianggap bertanggung jawab atas pembunuhan Syah Nashir Al-Din pada 1896 M. Apakah ia merencanakan pembunuhan itu atau tidak, ia tentu saja telah membantu menciptakan atmosfer yang memungkinkan peristiwa itu terjadi; pembunuhan itu diberitakan kepadanya, dan diceritakan berteriak pada saat kematian, “Ambil ini dari tangan Jamal Al-Din.” Dan peristiwa itu, sebagaimana seluruh kariernya, menunjukkan bahwa ia tidak pernah bisa menjadi seorang abdi yang jinak dari seorang otokrat yang menganggap kepentingan-kepentingannya sendiri sebagai kepentingan Islam. Pelajaran tersebut tidak disia-siakan oleh Abdulhamid; Al-Afghani mengakhiri hidupnya sebagai tahanan meskipun ia diperlakukan dengan hormat”.

Melihat kegiatan politk yang demikian di daerah yang demikian luas, pada tempatnyalah kalau dikatakan bahwa AlAfghani lebih banyak bersifat pemimpin dan pemikir pembaharuan dalam Islam. Tidaklah salah bahwa Toddar mengatakan bahwa ia sedikit sekali memikirkan masalah-masalah dan sebaliknya memusatkan pemikiran dan aktivitas dalam bidang politik. Dan tidak pula mengherankan kalau Goldziher memandang Al-Afghani terutama sekali senagai tokoh politik dan bukan hanya sebagai pemimpin pembahruan dalam soal-soal agama.
Pandangan Al-Afghani menurut dunia Islam sangat komfrehensif.  Oleh karena Al-Afghani menyerukan agar persatuan umat Islam harus diwujudkan kembali. Selanjutnya untuk semua bangsa, semua zaman, semua keadaan.  Dengan pemikirannya inilah Al-Afghani menyerukan kepada semua orang untuk meyakini dan mempercayai bahwa Islam adalah agama yang cocok bagi seluruh bangsa.
Menurutnya juga, kemunduran umat Islam yang terjadi pada saat ini tidak sesuai dengan perobahan zaman dan kondisi baru. Umat Islam mundur karena telah meninggalkan ajaran Islam yang sebenarnya dan mengikuti ajaran-ajaran yang datang dari luar, lagi asing bagi Islam. Sebab lain juga mengatakan bahwa kemunduran umat Islam adalah salah pengertian tentang maksud hadits yang mengatakan bahwa umat Islam akan mengalami kemunduran di akhir zaman.  Salah pengertian inilah yang menyebabkan umat Islam tidak berusaha untuk merubah nasib mereka.
Jamaluddin al-Afghani berpendapat, bahwa kesejahteraan umat Islam tergantung pada :
1.    Akal manusia harus disinari dengan tauhid, membersihkan jiwanya dari kepercayaan tahayul.
2.    Orang harus merasa dirinya dapat mencapai kemuliaan budi pekerti yang utama.
3.    Orang harus menjadikan aqidah, sehingga prinsip yang pertama dan dasar keimanan harus diikuti dengan dalil dan tidaklah keimanan yang hanya ikutan semata (taqlid).
Dia yakin bahwa kebangkitan Islam merupakan tanggung jawab kaum Muslim, bukan tanggung jawab sang pencipta. Masa depan kaum Muslim tidak akan mulia, kecuali jika mereka menjadikan diri mereka sendiri sebagai orang besar. Mereka harus bangkit dan menyingkirkan kelalaian. Mereka harus tahu realitas, melepaskan diri dari kepasrahan, dan memahami salah satu ayat Allah, “sesungguhnya Allah tidak mengubah kenikmatan yang ada pada suatu kaum hingga mereka mengubahnya dengan diri mereka sendiri”  ayat ini telah berabad-abad tidak memberikan ilham apapun kepada kaum Muslim, hingga datang Jamaluddin yang banyak menyampaikan khotbah tentang uraian ayat ini dan mengajak mereka untuk memperbaiki sejarah dunia mereka sebelum masyarakat mereka mati. Dia mengajak umat untuk mengubah nasibnya dari periode yang kepada periode yang dipenuhi semangat dan kebangkitan.
Al-Afghani menguraikan tentang agama Islam:

“Agama Islam adalah agama yang paling dibutuhkan manusia, karena ia mengandung berbagai keistimewaan yang tidak dimiliki agama-agama lainnya”.

Lebih jelas berikut Al-Afghani menjelaskan keistimewaan agama Islam dengan agama-agama lainnya:
1.    Aqidah Tauhid, dengan aqidah Tauhid, akal manusia menjadi bersih dan cemerlang, dan selalu terhindar dari berbagai keraguan.
2.    Islam menghapus faham yang mengistimewakan seseorang atau satu kelompok. Ia mengajarkan, keutamaan manusia tergantung kepada kesempurnaan akal dan jiwanya. Faham seperti itu hamper tidak kita temukan dalam agama-agama lain.
3.    Aqidah Islam didasarkan pada kepuasan batin dan kemantapan akal dan bukan kepada taklid atau meniru-niru apa yang diyakini oleh nenek moyang. Islam langsung berbicara dengan akal manusia, ia tidak menerima orang-orang yang ikutan tanpa dalil, yang mengikuti prasangka-prasangka saja.
4.    Islam menyuruh umatnya untuk mengajak kepada kebenaran dan mencegah dari kemungkaran.  Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar. Merekalah orang-orang yang beruntung. (Ali Imran, 104).  Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk member peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (At-Taubah, 122).
Tanda keunggulan Islam atas agama-agama lain, dari Hinduisme, sampai Kristen dan Zoroastrianisme. Terletak pada, bahwa dogma-dogmanya yang fundamental dapat sepenuhnya dirasionalisasi dan bebas dari unsur-unsur rahasia. Jelas sekali kelihatan bahwa konsep Al-Afghani tentang “rasionalitas” dogma sama sekali modern. Penolakannya terhadap konsep tradisional tentang suatu komponen adikodrati dalam ritual keagamaan, sebagaimana yang dinyatakan terutama mazhab Hanbaliyah, Asy’ariyah, dan para sufi. Juga sangat jelas, bahkan Mu’tazilah sendiri sebagai kaum rasionalis Islam pertama, pasti akan menolak keras tuntutan-tuntutan yang agak berlebihan ini.
Meskipun begitu, rasionalismenya tidaklah mendorongnya, seperti yang terjadi pada pemikir-pemikir Muslim lainnya, dari Ibnu al-Rawandi sampai Abu’l ‘Ala’, untuk meninggalkan kepercayaan agama sebagai tak berguna dan tidak masuk akal. Sebaliknya, ia tetap sepenuhnya menyadari realitas agama sebagai unsur yang esensial untuk membangun moral personal dan kompleks kebudayaan manusia. Baik rasionalitas maupun dimensi kultral Islam (yang sebenarnya telah dilepaskan dari unsur-unsur adikodratinya) akan menjadi tema-tema yang dominan dalam penafsiran kaum modernis tentang Islam pada abad ke-20.
Beberap buku yang ditulis Al-Afghani antara lain.  Tatimmat Al-Bayan (Kairo, 1879). Buku sejarah politik, social dan budaya Afghanistan. Hakikati Madhabi Naichary wa Bayani hali Naicharyan. Pertama kali diterbitkan di haydarabad-deccan, 1298 H/1881 M, ini adalah karya intelektual Al-Afghani paling utama yang diterbitkan seumur hidupnya. Merupakan satu kritik pedas dan penolakan total terhadap Materialisme. Buku ini telah diterjemahkan dalam bahasa Arab oleh , Muhammad Abduh dengan judul Al-Radd ’ala al-Dahriyin (penyangkalan kaum Materialisme), Al-Ta’liqat ‘ala Sharh Al-Dawani lil-Aqaid al-Addudiyah (Cairo, 1968), berupa catatan Al-Afghani atas komentar Dawwani terhadap buku Kalam yang terkenal dari Adud Al-Dhin Al- Iji Tajaliyat (Cairo, 1968).
Didalam buku Al-Radd ‘ala al-Dahriyin dijelaskan kelompok yang ia serang dengan nama kaum “materialisme” mencakup dari semua Demokritus sampai Darwin dengan padanan mereka dalam Islam, yang memberikan penjelasan tentang dunia yang tidak melibatkan Tuhan Yang Maha Kuasa. Ia menyerang mereka bukan karena tidak membahayakan kebenaran kebenaran, tetapi karena sebagai akibatnya mereka membahayakan kesejahteraan social an kebahagiaan manusia. Ia berpendapat bahwa agama yang benar mengajarkan tiga kebenaran utama:
1.    Manusia adalah raja bumi dan makhluk termulia,
2.    Komunitas religiousnya adalah yang paling baik dari semua makhluk,
3.    Manusia diturunkan kedunia ini untuk menyempurnakan dirinya sendiri sebagai persiapan untuk kehidupan lainnya.
Penerimaan terhadap ketiga kebenaran ini akan membuahkan tiga kebijakan yang menjadi landasan masyarakat, yaitu:
1.    Kesederhanaan (Haya),
2.    Terpercaya (amanah),
3.    Benar (sidiq). 
Katirat Jamal Al-Din Al-Afghani al-husaini (Beirut,1931). Suatu buku hasil kompilasi oleh Muhammad Pasya al-Mahzumi wartawan Libanon. Mahzumi hadir dalam kebanyakan forum pembicaraan Al-Afghani pada bagian akhir dari hidupnya buku berisi informasi yang penting tentang gagasan dan hidup Al-Afghani.
Selanjutnya, pemikiran Afghani diteruskan dan dikembangkan oleh murid-muridnya yakni Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Selanjutnya, pemikiran Islam modern yang mereka kembangkan tidak hanya pada tingkat wacana, namun ditransformasikan oleh pengikut-pengikut selanjutnya menjadi gerakan. Dapat dikatakan bahwa gerakan Islam abad kedua puluh banyak terpengaruh olehnya dan menjadikannya sumber inspirasi.
Pengaruh tersebut terlihat dalam tokoh dan gerakan-gerakan Islam modern sekarang ini, seperti Hasan Al-Banna dengan Ikhwatul Muslimin, Abdul Ala al-Maudhudi dengan Jama’atul Islam dan termasuk Muahammd Nasir dengan Masyuminya.

G.    Kesimpulan
Al-afghani berusaha menghimpun kembali kekuatan dunia Islam yang tercecer. Ia yakin bahwa kebangkitan umat Islam merupakan tanggung jawab kaum muslim, bukan tanggung jawab Sang Pencipta. Masa depan kaum muslim tidak akan mulia jika mereka tidak menjadikan  diri mereka sendiri sebagai orang besar. Mereka harus bangkit dari menyingkirkan kelalaian.
Al-Afghani mengajak umat Islam, pemimpin dan kelompok agar bersatu dan kerja sama dalam meraih kemajuan dan membebakan diri dari intervensi Barat.
Menurut Afghani, cara terbaik dan paling efektif untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut adalah melalui revolusi yang didasarkan atas kekuatan rakyat, kalau perlu dengan pertumpahan darah. Ia mengatakan bahwa kalau memang ada sejumlah hal yang harus direbut dan tidak ditunggu untuk diterima sebagai hadiah atau anugerah, maka kebebasan an kemerdekaan merupakan dua hal tersebut.
Menurut Al-Afghani tentang adanya persamaan antara pria dan wanita dalam beberapa hal, yaitu wanita dan pria sama dalam pandangannya, Karena keduanya sama-sama mempunyai aal untuk berpikir. Dengan jalan demikian Al-Afghani menginginkan agar wanita juga meraih kemajuan dan bekerja sama dengan pria untuk mewujudkan umat Islam yang maju dan dinamis.
Afghani adalah pembaharu muslim pertama yang menggunakan term Islam dan Barat sebagai dua fenomena yang selalu bertentangan. Sebuah pertentangan yang justru harus dijadikan patokan berpikir kaum muslim, yaiut untuk membebaskan kaum muslim dari ketakutan dan eksploitasi yang dilakukan oleh orang-orang Eropa.
Tujuan utama gerakan Afghani ialah menyatukan pendapat semua negara-negara Islam dibawah satu kekhalifahan, untuk mendirikan sebuah imperium Islam yang kuat dan mampu berhadapan dengan campur tangan bangsa Eropa. Ia ingin membangunkan kesadaran mereka akan kejayaan Islam pada masa lampau yang menjadi kuat karena bersatu. Menyadarkan bahwa kelemahan umat Islam sekarang ini adalah karena mereka berpecah-belah.
Dalam kiprahnya di dunia politik Al-Afghani banyak menyumbangkan pemikiran yakni :

1.    Keyakinan bahwa kebangkitan dan kejayaan umat Islam hanya mungkin terwujud kalau umat Islam kembali kepada ajaran Islam yang murni, dan meneladani pola hidup para sahabat Nabi, khususnya Khulafaur Rasyidin.
2.    Perlawanan terhadap klonialisme dan dominasi Barat, baik politik, ekonomi maupun kebudayaan.
3.    Pengakuan terhadap keunggulan Barat dalam ilmu dan teknologi, dan karenanya umat Islam harus belajar dari Barat dalam dua bidang tersebut.
4.    Melakukan perubahan kekuasaan dengan cara revolusi.
5.    Menganjurkan pembentukan Jami’ah Islamiyah/ Pan-Islamisme, menyatukan seluruh umat Islam termasuk dengan bahasa yakni bahasa Arab.
6.    Menentang setiap system yang sewenang-wenang dan menggantikannya dengan pemerintahan berdasyarkan musyawarah.





















DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hamid, Yaya, Pemikiran Modern Dalam Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2010
Ahmad, Zainal Abidin, Sejarah Islam dan Umatnya Sampai Sekarang, Jakarta: Bulan Bintang, 199.
Amin, Ahmad, Islam Dari Masa Kemasa, Jakarta: Remaja Rosda Karya, 1993.
Amin, Husyin Ahmad, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam, Jakarta: PT. Remaja Rosdakarya, 1997.
Asmuni, H.M., Yusran, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan Dalam Dunia Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001.
Azra, Azyumardi, Historiografi Islam Kontemporer, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002
Barmawi, Ahmad, 118 Tokoh Muslim Genius Dunia, Jakarta: Restu Agung, 2006,
Dono Hue, Jhon J, Islam dan Pembaharuan, Jakarta: Raja Grafindo, 1994.
Esposito, Jhon L, (ed), Islam dan Pembaharuan, Jakarta: Raja Grafindo, 1994.
Fakhry, Majid, Sejarah Filsafat Islam, Jakarta: Pustaka Jaya, 1986,
Hadi, Saiful, 125 Ilmuwan Muslim Pengukir Sejarah, Jakarta: Insan Cemerlang, TT
Hourani, Albert, Pemikiran Liberal Dunia Arab, Bandung: Mizan, 2004.
Mansur, Laily, Pemikiran Kalam Dalam Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004
Mufrod, Ali, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Jakarta: Logos, 1997.
Muhammad, Herry, dkk, Tokoh-tokoh Islam Yang Berpengaruh Abad 20, Jakarta: Gema Insani, 2006.
Nasution, Harun, Pembaharuan Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Pulungan, J Suyuti, Fiqih Siyasah (Ajaran, Sejarah dan Pemikiran), Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997.
Sadjali, Munawir, Islam dan Tata Negara (Ajaran, Sejarah dan Pemikiran), Jakarta: UI Press, 1931.
http://arkoun.multiply.com/journal/item/49/SAYYID-JAMALUDDIN-AL-AFGHANI?utm_
http://delsajoesafira.blogspot.com/2010/05/jamalludin-al-afghani.html
http://kenthippujakesuma.blogspot.com/2012/05/pan-islamisme-jamaluddin-al-afghani.html
http://www. Cis-ca. org/a/afghani.htm.
http://yasirmaster.blogspot.com/2012/10/gagasan-pan-islamisasi jamaludin.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar