Kamis, 12 Mei 2016

Konversi Agama




KONVERSI AGAMA

A.    Pengertian Konversi Agama
Konversi agama menurut etimologi, konversi dalam bahasa latin yaitu “Conversio“ yang berarti tobat, pindah, berubah (agama). Sedangkan dalam bahasa inggris yaitu “conversion” memiliki arti berubah dari suatu keadaan, atau dari suatu agama ke agama lain. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pengertian psikologi agama yaitu bertobat, berubah agama, berbalik pendirian terhadap ajaran agama atau masuk ke dalam agama.
Sedangkan pengertian konversi agama menurut terminology yaitu : “Konversi agama itu merupakan suatu tipe pertumbuhan atau perkembangan spiritual seseorang yang melibatkan perubahan arah yang sangat dalam dirasakan oleh pelakunya, baik menyangkut pemikiran maupun tingkah laku agamanya”. Konversi agama menunjukkan adanya perubahan emosi kearah mendapat petunjuk Tuhan yang berlangsung secara tiba-tiba, perubahan itu bisa terjadi secara berangsur-angsur.

B.     Karakteristik Umum Konversi Agama
Dalam pembahasan ini konversi agama memiliki 3 karakteristik umum :
1.      Konversi agama berkaitan erat dengan diperolehnya hidayah dari Tuhan bagi orang-orang tertentu.
2.      Konversi agama menyangkut perubahan emosi yang sangat dalam dan sangat berarti bagi pelakunya.
3.      karakteristik ketiga menyangkut orientasinya. Memberikan batasan bahwa konversi agama melingkupi perubahan integritas kemanusiaan seseorang yang bergerak dari kutub negative ke kutub positif, dari perasaan bersalah keperasaan benar, perasaan dosa ke perasaaan suci. Sehingga proses konversi mendorong pelakunya untuk lebih taat menjalankan ajaran-ajarannya.

C.    Proses Konversi Agama
Dr. Zakiah Daradjat memberikan pendapatnya yang berdasarkan proses kejiwaan yang terjadi melalui 5 tahap, yaitu :
1.      Masa tenang
Di saaat ini kondisi jiwa seseorang berada dalam keadaan tenang Karena masalah agama belum mempengaruhi sikapnya.
2.      Masa ketidaktenangan
Tahap ini berlangsung jika masalah agama telah mempengaruhi batinnya. Mungkin dikarenakan suatu krisis, musibah ataupun perasaan berdosa yang dialaminya. Hal ini menimbulkan semacam kegoncangan dalam kehidupan batinnya.
3.      Masa konversi
Tahap ketiga ini terjadi setelah konflik batin mengalami keredaan karena kemantapan batin telah terpenuhi berupa kemampuan menentukan keputusan untuk memilih yang dianggap serasi ataupun timbul rasa pasrah.
4.      Masa tenang dan tentram
Masa tenang dan tentram kedua ini berbeda dengan tahap sebelumnya. Jika pada tahap pertama kedaan itu dialami karena sikap yang acuh dan tak acuh, maka ketenangan dan ketentraman pada tahap keempat ini ditimbulkan oleh kepuasan terhadap keputusan yang sudah diambil.
5.      Masa ekspresi konversi
Sebagai ungkapan dari sikap menerima terhadap konsep baru dari ajaran agama yang diyakininya tadi, maka tidak tunduk dan sikap hidupnya diselaraskan dengan ajaran dan peraturan agama yang dipilih tersebut.

D.    Ruang Lingkup Konversi Agama
Konversi agama bisa terjadi pada semua usia terutama pada masa remaja hingga masa adolescence, mungkin juga konversi agama ini terjadi pada usia dewasa madya yaitu sekitar umur 30-an.
1.      Konversi Intern Agama
Pada bagian pertama ini dimakdsudkan bahwa konversi terjadi dan dialami oleh seseorang dalam intern agamanya sendiri. Artinya secara umum agama dan keyakinan yang dianutnya tidak berbeda dengan agama dan keyakinan sebelumnya, sebelum konversi beragama islam, dan setelah konversi tetap beragama islam, hanya saja yang tadinya jauh dengan agama atau Tuhan menjadi dekat dengan Tuhan dan agama, bahkan semakin taat dan mencintai, dan berani berjuang demi membela agama.
2.      Konversi Ekstern Agama
Bagian ini menunjukkan bahwa peristiwa konversi membawa akibat berubah dan berbaliknya keyakinan seseorang dari keyakinan suatu agama ke keyakinan agama yang lain.

E.     Faktor Yang Menyebabkan Terjadinya Konversi Agama
Ada beberapa ahli yang terlibat dalam disiplin ilmu masing-masing yang mengemukakan pendapat tentang factor yang menyebabkan terjadinya konversi agama, yang cenderung didominasi oleh lapangan ilmu yang mereka tekuni.
1.      Para ahli agama menyatakan bahwa yang menjadi factor pendorong terjadinya konversi agama adalah petunjuk Ilahi.
2.      Para ahli sosiologi berpendapat bahwa yang menyebabkan terjadinya konversi agama adalah pengaruh social.
3.      Para ahli psikologi berpendapat bahwa yang menjadi pendorong terjadinya konversi agama adalah factor psikologis yang ditimbulkan oleh faktor intern maupun ekstern.
4.      Para ahli ilmu pendidikan berpendapat bahwa konversi agama dipengaruhi oleh kondisi pendidikan. Penelitian ilmu social menampilkan data dana argumentasi bahwa suasana pendidikan ikut mempengaruhi konversi agama.

F.     Contoh Peristiwa Konversi Agama
1.      Sayyidina Umar ra.
Sayyidina Umar ra sebelum masuk Islam adalah musuh terkuat dari nabi Muhammad saw dalam menyebarkan Islam. Dia diberi tahu bahwa adiknya Fatimah binti Khottob telah masuk Islam dan hidayah tepat datang di muka rumah dimana ia akan melampiaskan nafsu amarahnya, terdengar suara merdu lemah gemulai dari dalam rumah Fatimah beserta keluarganya mengaji bersama membaca surat Thoha. Mendengar begitu suara merdu dan isi bacaannya sangat bagus, susunan katanya rapi bernilai sastra tingkat tinggi melebihi sastra lain buatan ahli sastra Arab saat itu yang terkenal dibidang sastra. Ia masuk ke rumah, bukan marah tetapi ingin tahu apa yang dibaca Fatimah. Setelah dijelaskan ia sadar dan masuk Islam. Akhirnya ia menjadi tokoh Islam. Tentu saja hal ini hidayah Allah dan berkat doa nabi. Tetapi proses dan sebab musababnya melalui kekaguman bunyi al-Quran dan suara pembacanya, melebihi semua hasil sastra yang ada.
2.      Syekh Muhammad Djamil Djambek
Muhammad Djamil Djambek adalah seorang putra dari Kepala Negeri Gurun Panjang Bukittinggi. Pada masa mudanya beliau hidup sebagai seorang yang kurang mengindahkan agama. Segala macam minuman keras dapat beliau kenal. Pada suatu malam ketika beliau sedang melalukan operasinya di Bukittinggi, beliau dikejar orang ramai-ramai. Beliau sempat melarikan diri dan bersembunyi di dalam suatu sungai. Orang ramai yang mengejarnya pun mencarinya cukup lama, tapi mereka tidak menemukannya. Pemuda Muhammad Djamil tersebut tidak berani keluar dari persembunyiannya, dan tinggallah dia dalam sungai tersebut sampai pagi. Pada waktu subuh didengarnya suara adzan subuh dari Masjid Tengah Sawah. Hatinya tergugah untuk ketika mendengarnya. Selesai adzan, ia segera pulang dan meminta kepada bapaknya agar dikirim ke Mekkah untuk belajar. Permintaannya dikabulkan oleh ayahnya dan berangkat ke Mekkah untuk mempelajari dan mendalami ilmu pengetahuan dan ajaran Islam disana.
Ia bermukim di Mekkah lama, kemudian pulang membawa pengaruh yang sangat besar dalam perkembangan agama di Minangkabau. Kemudian ia terkenal dengan Syekh Muhammad Djamil Djambek, ahli hisab dan ahli falak, yang sampai sekarang orang-orang di Minangkabau sangat terpengaruh oleh ajaran beliau, sekolah dan surau yang beliau dirikan di tengah-tengah kota Bukittinggi sampai sekarang masih tetap berlimpah pengunjungnya, walaupun beliau sudah wafat.

Sabtu, 26 Maret 2016

YANG MEMBATALKAN WUDU’ HUKUM PERSENTUHAN KULIT ANTARA LALI-LAKI DAN PEREMPUAN

YANG MEMBATALKAN WUDU’
HUKUM PERSENTUHAN KULIT
ANTARA LALI-LAKI DAN PEREMPUAN NON MUHRIM

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
“...Pada hari Ini Telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan Telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu...” (QS. Al-Maidah: 3)
Permasalahan keagamaan telah dinyatakan menurut panduan ajarn ini. Selama masalah-masalah pokok yang akan digunakan sebagai pedoman yang jelas diketahui, maka tidak terdapat alasan untuk berselisih, bahkan hal tersebut tidak ada manfaat sama sekali
Para imam mazhab mencurahkan kemampuan yang ada pada mereka untuk memperkenalkan agama ini dan membimbing manusia kearah jalan yang haq. Pada waktu yang sama, mereka melarang kaum muslimin bertaklid kepada mereka tanpa mengetahui dalil atau alasannya, dengan mengatakan “Tidak seorangpun boleh mengikuti pendapat kami tanpa mengetahui alasan kami dalam istimbath hukum.
Mereka menegaskan bahwa mazhab mereka adalah hadis yang shahih karena mereka tidak ingin pendapat mereka akan diikuti begitu saja seperti halnya yang maksum. Maksud mereka hanyalah menolong manusia dalam memahami hukum-hukum Allah.
Mengenai persentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan, hal ini banyak dibahas di dalam BAB Wudhu mengenai batal atau tidaknya wudhu. Maka dalam hal ini kami selaku pemakalah akan membahas hukum persentuhan antara laki-laki dan perempuan berdasarkan berbagai madzhab.







PEMBAHASAN

A.    Pengertian Persentuhan Kulit
Para Fuqaha’ (ulama fiqh) menggunakan istilah: الّلمس terkadang khusus dengan menggunakan tangan dan terkadang dengan menggunakan bagian anggota badan selain tangan. Sedangkan:المسّ adalah khusus menyentuh dengan tangan. Masing-masing dari keduanya mempunyai ketentuan-ketentuan hukum tersendiri.

B.     Dalil-Dalil yang berhubungan
$pkšr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä #sŒÎ) óOçFôJè% n<Î) Ío4qn=¢Á9$# (#qè=Å¡øî$$sù öNä3ydqã_ãr öNä3tƒÏ÷ƒr&ur n<Î) È,Ïù#tyJø9$# (#qßs|¡øB$#ur öNä3ÅrâäãÎ/ öNà6n=ã_ör&ur n<Î) Èû÷üt6÷ès3ø9$# 4 bÎ)ur öNçGZä. $Y6ãZã_ (#r㍣g©Û$$sù 4 bÎ)ur NçGYä. #ÓyÌó£D ÷rr& 4n?tã @xÿy ÷rr& uä!%y` Ótnr& Nä3YÏiB z`ÏiB ÅÝͬ!$tóø9$# ÷rr& ãMçGó¡yJ»s9 uä!$|¡ÏiY9$# öNn=sù (#rßÅgrB [ä!$tB (#qßJ£JutFsù #YÏè|¹ $Y6ÍhŠsÛ (#qßs|¡øB$$sù öNà6Ïdqã_âqÎ/ Nä3ƒÏ÷ƒr&ur çm÷YÏiB 4 $tB ߃̍ムª!$# Ÿ@yèôfuŠÏ9 Nà6øn=tæ ô`ÏiB 8ltym `Å3»s9ur ߃̍ムöNä.tÎdgsÜãŠÏ9 §NÏGãŠÏ9ur ¼çmtGyJ÷èÏR öNä3øn=tæ öNà6¯=yès9 šcrãä3ô±n@ ÇÏÈ  

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Maidah: 6)

            Dari Ibrahim At-Taimi, dari Aisyah, bahwasannya Nabi SAW pernah mencium salah seorang istrinya, kemudian beliau shalat dan tidak berwudhu lebih dulu. (HR. Abu Dawud dan An-Nasai)”
Abu Daud mengatakan, “Hadis ini mursal. Ibrahim At-Taimi tidak mendengar langsung dari Aisyah RA.” An-Nasa’i mengatakan, “Tidak ada hadis yang lebih baik daripada inidalam masalah ini, walaupun hadis ini mursal.” Di shahihkan oleh Syaikh al-Albani.
Dari Aisyah, ia mengatakan, “Aku tidur di depan Rasulullah (yang sedang shalat), dan kedua kakiku pada kiblat beliau. Jika beliau handak bersujud, beliau menyentuhku dengan jarinya, lalu aku menarik kedua kakiku. Jika beliau telah berdiri, aku meluruskan kedua kakiku.” (HR. Bukhari)

Dari Aisyah, dia berkata, “Suatu malam aku kehilangan Rasulullah dari tempat tidur, kemudian aku mencarinya, lalu tanganku mengenai kedua telapak kaki beliau sebelah dalam ketika beliau sedang di tempat sujud” (HR. Muslim)

C.    Perbedaan pendapat para Ulama
Menyentuh seseorang yang dapat mengundang syahwat adalah membatalkan wudhu’. Ada pula ulama yang mengatakan tidak membatalkan wudhu. Masing-masing menjelaskan dengan beberapa syarat yang terinci dalam pendapat berbagai madzhab.
1.      Syafi’iyah
Mereka berpendapat bahwa menyentuh wanita bukan mahram membatalkan wudhu secara mutlak sekalipun tanpa merasakan nikmat, sekalipun laki-lakinya itu lemah tua juga dan tidak menarik (berwajah jelek). Inilah yang menjadi ketetapan dalam mazhab Syafi’iyah, apakah orang yang menyentuh itu sudah tua ataupun masih muda.
Pendapat ini berdasarkan pemahaman mereka terhadap bagian dari ayat yang menjelaskan tentang hal-hal yang mewajibkan orang bersuci kembali sebelum melaksanakan shalat: “...atau kamu melakukan persentuhan dengan perempuan” (QS. An-Nisa’: 43). Mereka memahami kata “persentuhan” secara harfiah, sehingga menganggap wudhu seorang batal setelah terjadinya persentuhan antara kulit laki-laki dan perempuan.
Mungkin juga dikatakan bahwa persoalan wanita tua yang sudah lemah dan tidak menarik itu adalah tidak adanya rasa nikmat dengan menyentuhnya. Mereka menjawab bahwa selama wanita itu masih hidup maka tidak akan hilang darinya rasa nikmat dengan menyentuhnya. Dan sentuhan itu dapat membatalkan wudhu hanya apabila antara kulit yang menyentuh dan kulit yang disentuh itu tidak ada batas penghalang. Bagi mereka cukup dengan menggunakan batas penghalang yang tipis, sekalipun penghalangnya itu hanya berupa kotoran dari debu yang bertumpuk, bukan berupa air keringat.
Wudhu itu dapat batal dengan menyentuh mayat dan tidak batal dengan menyentuh seorang wnita mahram, yaitu wanita yang haram dinikahi untuk selama-lamanya karena ada hubungan nasab (keturunan) atau susuan atau karena pernikahan.
Imam Asy-Syafi’i berpendapat bahwa sekedar bersentuhan antara laki-laki dengan wanita atau wanita menyentuh laki-laki sudah membatalkan wudhu, dengan syarat tidak ada hubungan mahram antara keduanya. Menurut pendapat yang shahih di pengikut madzhab Syafi’i, persentuhan antara mahram tidak membatalkan wudhu.
2.      Hanabilah
Mereka berpendapat bahwa wudhu itu dapat batal disebabkan menyentuh wanita dengan syahwat tanpa ada suatu penghalang. Tidak ada perbedaan antara wanita asing atau mahram, hidup atau mati, muda atau tua, besar ataupun kecil biasanya dapat mengundang syahwat. Dalam hal itu laki-laki adalah sama dengan wanita, sehingga apabila wanita itu menyentuh laki-laki maka batallah wudhunya dengan syarat-syarat tersebut. Sentuhan itu tidaklah membatalkan wudhu kecuali apabila sentuhan itu mengena sebagian dari anggota badan selain rambut, gigi dan kuku. Menyentuh ketiga hal tersebut (rambut, gigi, dan kuku) tidak membatalkan wudhu. Sedangkan yang disentuh, maka wudhunya tidak batal walaupun ia merasakan nikmat.
Dengan demikian kita ketahui bahwa hanabilah sependapat dengan Syafi’iyah, bahwa menyentuh seorang wanita tanpa penghalang adalah membatalkan wudhu, walaupun wanita itu adalah seorang wanita yang tua dan tidak berwajah menarik selama ia masih dapat mengundang syahwat. Hanabilah berbeda dengan Syafi’iyah tentang menyentuh mahram. Hanabilah berpendapat bahwa menyentuh wanita itu membetalkan wudhu secara mutlak walaupun ia menyentuh ibu atau saudara perempuannya sendiri.
3.      Malikiyah
Menyentuh wanita menarik secara seksual dengan syahwat dapat membatalkan wudhu. Mereka berpendapat bahwa apabila seseorang yang mempunyai wudhu menyentuh orang lain dengan tangannya atau sebagian dari badannya. Maka wudhunya itu batal dengan beberapa syarat. Sebagian dari syarat-syarat itu untuk pihak yang menyentuh dan sebagian lagi untuk pihak yang disentuh.
Bagi yang menyentuh disyaratkan hendaknya ia seorang yang baligh dan bermaksud untuk merasakan kenikmatan, atau ia merasakannya tanpa sengaja. Apabila ia bermaksud merasakan nikmat, maka wudhu’nya itu batal walaupun ia belum betul-betul merasakan kenikmatan.
Bagi yang disentuh hendaknya ia dalam keadaan telanjang ataupun terhalang dengan penghalang tipis. Jika penghalang itu tebal, maka wudhunya tidak batal, kecuali bila sentuhannya itu dengan cara memegang sebagian anggota badan dan bermaksud untuk merasakan kenikmatan atau ia merasakan kenikmatan itu. Dan hendaknya yang disentuh itu adalah orang yang biasanya mengundang syahwat. Maka, wudhunya tidak batal dengan menyentuh wanita kecil yang tidak mengundang syahwat, seperti gadis berusia lima tahun. Dan tidak pula menyentuh wanita tua yang laki-laki tidak butuh lagi padanya, karena nafsu (syahwat) telah pudar darinya.
4.      Hanafiyah
Menyentuh wanita secara mutlak (baik dengan syahwat atau tidak) tidak membatalkan wudhu. Diantara dalil mereka adalah hadis dari Aisyah yang berposisi melintang di depan Rasulullah saat beliau menunaikan shalat. Kemudian beliau meraba kedua kaki Aisyah RA, dan terus melanjutkan shalatnya.
Tetapi bukan berarti menyentuh wanita yang bukan mahram itu boleh. Ini permasalahan yang berbeda. Hukum menyentuh wanita yang bukan mahramnya adalah haram. Sebagaimana sabda Nabi:
لأَنْ يُطْعَنَ فِيْ رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمَخِيْطٍ مِنْ حَدِيْدٍ، خَيْرٌلَهُ مِنْ أَنْ يَمُسَّ امْرَأَةً لاَ تَحِلَّ لَهُ
Artinya: “Sungguh kepala seseorang diantara kalian ditusuk dengan jarum dari besi, maka demikian itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya” (HR. Thabrani)
D.    Istinbath Hukum
Penulis lebih memilih pendapat madzhab Malikiyah yang mengatakan bahwa batal wudu’ apabila bersentuhan kulit laki-laki dan perempuan yang diiringi dengan syahwat. Berdasarkan dalil QS. Al-Maidah: 6 dan hadits Dari Aisyah, ia mengatakan, “Aku tidur di depan Rasulullah (yang sedang shalat), dan kedua kakiku pada kiblat beliau. Jika beliau handak bersujud, beliau menyentuhku dengan jarinya, lalu aku menarik kedua kakiku. Jika beliau telah berdiri, aku meluruskan kedua kakiku.” (HR. Bukhari)



KESIMPULAN

Laki-laki menyentuh perempuan dalam masalah ini ada tiga pendapat dikalangan para ulama
Pertama, lelaki menyentuh perempuan secara mutlak membatalkan wudhu, ini adalah pendapat Syafi’i yang disepakati oleh Ibnu Hazm dan merupakan perkataan Ibnu Mas’ud serta Ibnu Umar.
Kedua, tidak membatalkna wuudhu secara mutlak, menurut madzhab Abu Hanifah, Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani, dan merupakan perkataan Ibnu Abbas, Thawus, Al Hasan, Atha’ dan bipilih oleh Ibnu Taimiyah, inilah pendapat yang kuat.
 Ketiga, Menyentuh perempuan dapat membatalkan wudhu jika dibarengi syahwat, ini adalah pendapat Malik dan Ahmad pada riwayat yang masyhur darinya.
Pijakan dasar pendapat yang mengatakan batal wudhu karena menyentuh perempuan adalah firman Allah, “atau menyentuh perempuan lalu kamu tidak memperoleh air, bertayamumlah” (QS. Al Maidah: 6). Dari Ibnu Mas’ud dan Ibnu Umar menafsirkan ayat ini bahwa menyentuh disini selain jimak.
Ibnu Abbas tidak sejalan dengan pendapat ini, dia berkata, kata al mass, al-lams, al mubasyarah bermakna jimak, akan tetapi Allah memberi julukan nama dengan apa yang Dia kehendaki.
Sebagai peringatan perbedaan pendapat seperti ini tidak boleh dijadikan alasan saling membenci, menjauhi, dan memusuhi. Karena perselisihan ini sudah ada semenjak zaman Sahabat dan mereka tetap bersatu, maka kita juga harus demikian.










DAFTAR PUSTAKA


Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam, Syarah Bulughul Maram Jilid I, (Jakarta: Pustaka Azzam), 2006
Abdurrahman Al-Jaziri, Fiqh Empat Madzhab, (Jakarta: Darul Ulum Press), cet.ke-3, 1996
Abu malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fikih Sunnah, (Jakarta: Pustaka Azzam), 2006
Al Imam Asy-Syaukani, Ringkasan Nailul Authar, (Jakarta: Pustaka Azzam), 2011
Muhammad bagir Al-Habsyi, Fiqih Praktis , (Bandung: mizan), 1999
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Jakarta: Pena Pundi Aksara), 2006
Tim Redaksi, “Semua Wanita Sama”, As-Sunnah, Soal-Jawab, Edisi April 2010